SURABAYA, SEPUTARINDONESIA.NET – Kasus dugaan penganiayaan yang melibatkan seorang pengacara, Tjetjep Mohammad Yasien, dan empat debt collector (DC) di Surabaya, menimbulkan kontroversi. Tim kuasa hukum para DC yang kini berstatus tersangka di Polrestabes Surabaya, memberikan klarifikasi dan mengungkap sejumlah kejanggalan dalam peristiwa yang viral tersebut pada Senin (13/1/2025).
Luki Permana Putra, kuasa hukum Nikson Brillyan Maskikit (salah satu DC tersangka), menyoroti sikap arogan Tjetjep yang dianggap kebal hukum. Luki mengungkapkan adanya perbedaan keterangan Tjetjep. Awalnya, Tjetjep mengklaim hanya kebetulan berada di lokasi kejadian saat keributan terjadi, datang untuk membeli makanan berbuka puasa. Namun, keterangan ini berbeda dengan pengakuannya kepada staf PT. Perkasa Abadi Perdana pada 11 November 2024, di mana Tjetjep mengaku sebagai pengacara Abdul Proko Santoso, yang bermasalah dengan tagihan kartu kredit.
Lebih mengejutkan, terungkap bahwa Abdul Proko Santoso juga menunjuk Ahmad Fahmi Ardiyansyah, anak Tjetjep, sebagai pengacaranya. Luki mempertanyakan profesionalisme Tjetjep sebagai pengacara yang seharusnya menjelaskan konsekuensi hukum atas penunggakan pembayaran kartu kredit, bukan malah mendorong kliennya untuk melanggar hukum. Luki juga menyayangkan sikap Tjetjep yang terkesan menjadi korban, menilai tindakan tersebut tidak gentleman.
Luki juga menyoroti klaim Tjetjep yang sedang berpuasa saat kejadian, namun dianggap berbohong. Ia mempertanyakan etika dan kredibilitas Tjetjep, khususnya dengan julukan “Gus Yasien” yang melekat padanya. Luki mendesak Tjetjep untuk jujur dan bertanggung jawab atas pernyataannya di berbagai media.
Kejanggalan lain yang diungkap Luki adalah klaim Tjetjep yang mengaku tidak mengenal Abdul Proko Santoso, meskipun ia dan anaknya menjadi kuasa hukumnya. Luki juga mempertanyakan tantangan duel yang diajukan Tjetjep kepada Nikson. Ia menilai tindakan tersebut tidak mencerminkan perilaku seorang pengacara profesional.
Klaim Tjetjep mengalami gegar otak akibat penganiayaan juga dipertanyakan Luki. Ia mempertanyakan bagaimana seseorang yang mengalami gegar otak dapat berjalan sendiri dan membuat laporan polisi. Luki juga menyinggung latar belakang Tjetjep sebagai mantan petinju dan ahli bela diri, yang menurutnya, seharusnya mampu mengatasi empat orang tanpa keahlian bela diri. Ketiadaan bukti kekerasan fisik pada Nikson dan ketiga rekannya semakin memperkuat keraguan Luki terhadap kebenaran keterangan Tjetjep.
Tim kuasa hukum Nikson berharap polisi dapat menangani kasus ini secara adil dan objektif, dengan mempertimbangkan fakta-fakta yang ada. Mereka akan terus memperjuangkan keadilan bagi klien mereka.