Surabaya, Seputarindonesia.net – Warga Surabaya yang melaporkan dugaan tindak pidana perubahan angka hasil suara Pemilu 2024 dan penyebaran berita bohong atau hoax ke Polrestabes Surabaya pada Selasa (3/12/2024) sore, justru mendapatkan penolakan dari petugas SPKT.
Ketua DPD R. Hariyadi Gardu Prabowo dan Pendowo, yang mewakili masyarakat Surabaya, mengaku kecewa dengan respon pihak kepolisian. Mereka merasa laporan mereka terkait dugaan pelanggaran UU ITE tentang penyebaran berita bohong atau hoax tidak diterima oleh penyidik Polrestabes Surabaya.
“Kami diminta untuk melaporkan ke Bawaslu padahal setahu saya UU Pemilu belum mengatur tentang pelanggaran ITE-nya,” ungkap R. Hariyadi Ketua DPD Gardu Prabowo.
Mereka mempertanyakan kemana lagi mereka harus melapor jika kepolisian dan Bawaslu menolak laporan mereka.
“Kalau Kepolisian tidak dapat menerima laporan kami dan Bawaslu juga menolak karena belum ada aturan yang mengatur tentang itu, lantas kemana lagi kami harus melapor? Apakah pada saat Pilkada semua orang bebas melakukan penyebaran berita bohong atau hoax?” tanya Ketua DPD Gardu Prabowo dan Pendowo.
Kekecewaan masyarakat ini menunjukkan adanya kekhawatiran akan potensi pelanggaran ITE yang dapat terjadi selama proses Pemilu.
“Kami berharap ada kejelasan hukum terkait pelanggaran ITE dalam konteks Pemilu. Masyarakat harus dilindungi dari penyebaran berita bohong yang dapat merusak demokrasi,” tutup R. Hariyadi Gardu Prabowo.
Mantan Komisioner Bawaslu Kritik Penolakan Laporan Andreas Pardede, menyoroti penolakan laporan warga Surabaya oleh Polrestabes Surabaya. Pardede menilai penolakan laporan tersebut sangat disayangkan, mengingat warga berhak memperjuangkan dan mendapat keadilan dari lembaga penegak hukum.
“Sangat disayangkan kinerja kepolisian yang telah menolak laporan warga. Sebagai institusi yang mengayomi masyarakat, seharusnya kepolisian membantu rakyat dalam mencari upaya keadilan. Namun, dalam kasus ini, laporan yang disertai dengan bukti dan temuan justru ditolak oleh pihak aparat negara,” ujar Pardede.
Pardede juga menambahkan bahwa penolakan laporan ini menunjukkan bahwa masih ada kendala dalam akses keadilan bagi masyarakat.
“Aparat penegak hukum seharusnya bersikap adil dan transparan dalam menangani laporan warga. Penolakan laporan tanpa alasan yang jelas dapat memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian,” tambah Pardede.
Pardede berharap kasus penolakan laporan ini menjadi perhatian serius bagi pihak kepolisian dan menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitas dalam menjalankan tugasnya.
Kasus penolakan laporan ini menimbulkan pertanyaan tentang penanganan pelanggaran ITE dalam konteks Pemilu. Meskipun materi laporan terkait dugaan pelanggaran ITE, namun karena menyangkut Pilkada, kepolisian mengarahkan pelapor untuk melapor ke Bawaslu.
Namun, menurut R. Hariyadi, UU Pemilu belum mengatur tentang pelanggaran ITE.
Andreas Pardede juga menegaskan bahwa dugaan pelanggaran UU ITE, walaupun materinya menyangkut Pilkada, tetap dikategorikan sebagai dugaan pelanggaran pidana umum, bukan dugaan pelanggaran Pilkada. Hal ini karena belum diatur di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Kejadian ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi pelanggaran ITE yang dapat terjadi selama proses Pemilu. Warga berharap agar pihak berwenang dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat dari penyebaran berita bohong yang dapat mengganggu jalannya Pemilu.
Penolakan laporan ini menunjukkan bahwa masih ada kendala dalam akses keadilan bagi masyarakat. Aparat penegak hukum seharusnya bersikap adil dan transparan dalam menangani laporan warga. Penolakan laporan tanpa alasan yang jelas dapat memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.
Kasus ini menjadi sorotan dan diharapkan menjadi bahan evaluasi bagi pihak kepolisian untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitas dalam menjalankan tugasnya. Penting bagi kepolisian untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat dari penyebaran berita bohong yang dapat mengganggu jalannya Pemilu.
Kasus penolakan laporan dugaan pelanggaran ITE di Surabaya ini menyoroti pentingnya kejelasan hukum dan akses keadilan bagi masyarakat dalam konteks Pemilu. Penting bagi pihak berwenang untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat dari penyebaran berita bohong yang dapat merusak demokrasi. Kejadian ini juga menjadi pengingat bagi aparat penegak hukum untuk bersikap adil dan transparan dalam menangani laporan warga, serta meningkatkan kinerja dan profesionalitas dalam menjalankan tugasnya.