SURABAYA-Dikatakan oleh K.H. Umarsyah H.S. sebagai Panglima Santri NU ketika seminar yang digelar oleh PCNU Surabaya, yang dihadiri juga oleh Walikota Eri Cahyadi bersama Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Pasma Royce, S.I.K., M.H., beserta jajaran di seluruh kota Surabaya.
Bahwa pada saat itu digelar Muktamar di Banjarmasin 1936 yang terjadi pergumulan pemikiran, untuk konsep negara kita ini seperti apa dan bagaimana untuk merebut kemerdekaan itu pada waktu itu.
“Baru kemudian terorganisir secara baik dan secara meluas akhirnya bisa merebut kemerdekaan dari tangan Belanda,” kata Umarsyah ketika menggelar seminar Resolusi Jihad di Hotel Majapahit, Rabu (23/08/2023).
“Kemudian ada informasi bahwa tentara sekutu bersama Belanda akan kembali menyerang dan mengambil kemerdekaan setelah pasca 17 Agustus 1945,” imbuh Umarsyah.
Panglima NU ini mengatakan, disitulah terjadi peran para Ulama dan para Kyai mengemuka dan lahirlah resolusi jihad 22 Oktober 1945, yang sebenarnya tidak secara tiba-tiba dengan proses yang panjang.
“Resolusi Jihad pada waktu itu mewajibkan kepada seluruh umat Islam untuk turun berperang melawan penjajah, dan Alhamdulillah semangat Resolusi Jihad itu membuat semua rakyat turun untuk berperang melawan penjajah. Terutama melawan tentara sekutu,” ungkap Umarsyah.
“Sehingga kita tahu, klimaksnya adalah di tanggal 10 November 1945. Kemudian momen itu dijadikan sebagai momen sejarah yang dikenal sebagai gerakan 10 November,” imbuh lagi Umarsyah.
Menurut Umarsyah, dari situ juga lahirlah sebutan untuk kota Surabaya ini sebagai kota pahlawan. Tapi ada satu hal yang kita lihat masih minimnya pengakuan peran para santri dan peran Kyai terhadap momen-momen sejarah itu seolah tenggelam.
“Tapi kami anggap sebagai sebuah hal yang biasa. Karena memang para santri dan Kyai tidak menuntut ada imbal balik penghargaan apapun,” tegas Umarsyah.
Panglima NU ini juga memaparkan, bahwa kita sebagai generasi ketiga setelah kemerdekaan ini melihat, bahwa sebenarnya nilai-nilai yang terkandung di dalam Resolusi Jihad itu sangat-sangat membangkitkan nasionalisme bangsa Indonesia.
“Membangkitkan semangat daya juang kita, tapi kan sekarang kita tidak berhadapan dengan penjajah. Oleh karena itu kita angkat ini, kita ulik dan kita sebar luaskan nilai-nilai yang terkandung dalam Resolusi Jihad untuk apa? Untuk melawan hal-hal yang tidak kita inginkan yang kita anggap musuh, yaitu masalah Indonesia masalah radikalisme masalah radikalisme, hedonisme, kemiskinan dan kebodohan. Itu kita jadikan sebagai penyemangat,” beber Umarsyah.
Umarsyah menyerukan, Insya Allah kalau ini kita serius kemudian kita akan perjuangan, maka itu nanti akan dikenal juga di hari pahlawan. Sedangkan gerakan 10 November tidak hanya diinisiasi oleh satu atau dua orang tokoh saja.
“Tetapi peran Kyai dan peran para santri akan terlihat. Di situ data dan fakta sejarah inilah yang sekarang kita gali terus untuk mendukung asumsi kita. Malah bukan asumsi lagi, tapi kenyataan yang ada di tahun-tahun itu,” ujar Umarsyah.
Panglima NU ini selalu menekankan harus kontekstual, artinya bangsa kita tidak terpenjara. Tidak tersandera oleh suasana, bahwa negara kita saat ini adalah negara yang memang tidak sedang dijajah.
Melainkan harus melihat kenyataan, bahwa saat ini musuh bersama kita adalah radikalisme, hedonisme, kemiskinan dan kebodohan.
“Nah itu nanti yang akan kita perangi, karena Resolusi Jihad itu nanti akan kita jadikan sebagai nilai dasar untuk menggerakkan generasi sekarang. Sehingga generasi mendatang sudah siap untuk setiap saat melawan musuh-musuh yang muncul sesuai dengan perkembangan zaman,” pungkas K.H. Umarsyah H.S. selaku Panglima Santri NU dan juga Ketua PCNU Surabaya. (riz/irm)