SURABAYA– Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Kelas IA Tuai pro dan Kontra usai diresmikan pada, Senin (20/2/2023) lalu. Selain mengoptimalkan jalur ruang Steril Hakim dan pegawai terhadap pengguna layanan. Pengunjung merasa terbatasi dan tidak nyaman masuk ke dalam lingkungan Pengadilan.
Ketidak nyamanan itu lantaran adanya aturan baru diterapkan kepada semua pengunjung berupa pemeriksan berlapis. Padahal para pengunjung ini tidak lain adalah pencari keadilan dan juga para Jaksa, pengacara maupun wartawan yang mempunyai kepentingan di lingkungan PN Surabaya.
Dari pantauan di lokasi, setiap masyarakat pencari keadilan (pengunjung) yang ingin melewati PTSP akan diminta kartu tanda pengenal (KTP) dan ditanya kepentingannya. Padahal hal itu sudah dilakukan di Pos penjagaan pintu masuk Pengadilan Negeri Surabaya.
Jhony, salah satu pengunjung PN Surabaya mengaku tidak nyaman dengan aturan baru yang diterapkan di PN Surabaya. Dirinya merasa terbatasi dan terhambat dengan adanya aturan baru bagi para pengunjung Pengadilan.
“Pengadilan itu terbuka untuk umum. Kalau ada pemeriksaan ini itu, ditanya KTP apalagi setiap hari, itu terlalu berlebihan. Kita sudah dikasih keplek (ID Card) dari PN Surabaya, terus apa gunanya. Difoto dan ditanya bolak-balik setiap hari. Bagaimana dengan masyarakat umum yang mencari keadilan. Ini akan mempersulit mereka,” kata Jhony di PN Surabaya, Selasa (28/2/2023).
Saat disinggung apakah penerapan aturan baru tersebut diduga akibat pasca OTT Hakim Itong (PN Surabaya) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jhony menyampaikan bahwa hal tersebut seharusnya tidak dijadikan alasan oleh PN Surabaya.
“Kalau terkait hal itu ya perketat dong pengawasan Hakimnya. Jangan terus mempersulit dan menghambat masyarakat mencari keadilan. Contohnya, itu kalau hakim tidak sidang ya sudah di ruangan saja. Jangan keluar-keluar,” tegasnya.
Terpisah, menanggapi hal itu, Humas PN Surabaya, Suparno mengaku semua pengunjung yang datang harus diketahui identitasnya. Pihaknya menampik jika aturan itu membatasi masyarakat pencari keadilan. Ditegaskannya bahwa pemeriksaan identitas ini bukanlah upaya membatasi, tapi untuk menanyakan keperluannya apa.
“Semua pengunjung yang datang harus diketahui identitasnya. Hal itu ditakutkan kalau ada penyelundup. Sehingga aturan ini dilakukan biar jelas keperluannya,” tegas Suparno.
Disinggung perihal beberapa waktu terjadi crowded atau penuh sesak di Ruang PTSP, Suparno mengaku hal itu karena pengunjung tidak sesuai dengan nomor antrean dan tidak benar-benar crowded. “Mereka itu ingin saling mendahului. Dan budaya antre bagi orang Indonesia itu susah. Kalau tertib sesuai dengan nomor antrean, maka tidak akan sampai penuh sesak,” ucapnya.
Terkait masuk ruang sidang Candra dan Cakra harus meninggalkan KTP? lagi-lagi Suparno menegaskan hal itu diterapkan juga kepada semua penggunjung. Kalau memang dia sebagai saksi, pasti bukan KTP tapi identitas lain.
“Aturan ini dari pimpinan dan diberlakukan sejak Ketua PN terdahulu aturan ini sudah ada. Setiap memasuki ruang sidang akan ada pemeriksaan. Dulu kan di pos penjagaan, sekarang dialihkan disini saja,” alibi dia. (*)