SURABAYA– Fenomena penempelan stiker “Warga Miskin” di Kota Surabaya masih terus menjadi perbicangan hangat di tengah masyarakat, bahkan beberapa pihak menilai jika stempel tersebut bernuansa merendahkan harga diri warga.
Hadir sebagai narasumber di acara Forum Group Discussion (FGD) Obral-Obrol JUDES 2023 dengan tema Kartu Miskin VS Status Ekonomi, Pertiwi Ayu Khrisna Ketua Komisi A DPRD Surabaya, mengatakan bahwa ucapan itu doa.
“Harus hati-hati loh, ucapan atau stempel itu sama dengan doa. Jadi klo sudah ditempeli stiker miskin, ini bisa saja dikonotasikan sebagai doa untuk warga tersebut,” ucap Ayu-sapaan akabnya.
Padahal, lanjut Ayu, nasib seseorang itu sewaktu-waktu bisa berubah. Tidak ada satupun seseorang yang mau menjadi miskin selamanya.
“Karena bisa saja, mereka itu tiba-tiba berubah menjadi warga yang mampu karena berbagai hal,” ucap Ayu-sapaan akabnya.
Ayu berharap, kriteria warga miskin itu jelas dan tegas seperti yang disyaratkan pemerintah pusat.
Oleha karenanya, Ayu meminta kepada pemerintah kota Surabaya untuk menggunakan kata atau kalimat yang lebih soft (halus), karena status miskin bisa memunculkan ketersinggungan di tengah masyarakat.
“Kan bisa dengan menggunakan istilah pra sejahtera misalnya, atau yang lain. Jangan langsung stempel miskin begitu,” tandasnya di acara Obral-Obrol yang digelar JUDES di pressroom DPRD Surabaya. Rabu (25/01/2023)
Hal senada juga disampaikan selaku narasumber kedua Dr. Moch. Mubarok Muharam, yang meminta kepada pemangku kebijakan (pemkot Surabaya) untuk berhati-hati dalam memilih kalimat yang berkaitan dengan kebijakan.
“Kemiskinan itu ada dua, yakni kemiskinan structural (karena dampak kebijakan) dan kemiskinan kultural (karena dirinya sendiri). Namun sebaiknya, jika tujuannya membantu jangan memunculkan kesan yang bisa merendahkan harga diri seseorang,” ujar Pakar Sosial politik dari UNESA ini. (irm)