Seputarindonesia.net II PAMEKASAN –Belakangan ini, istilah non-muslim dan kafir kembali mencuat di Negara Indonesia. Khususnya di Madura dan lebih khusus lagi di wilayah Kabupaten Pamekasan, Madura Jawa Timur.
Hal itu bermula dari podcast Kemenag Pamekasan yang salah satu kontennya mengulas tentang non-muslim bukan kafir.
Sedangkan sebagai Narasumbernya adalah Kepala Kemenag Pamekasan H Mawardi, Rabu 15 Juni 2022.
Ulasan H Mawardi memunculkan pro dan kontra. Muaranya, dengan niat untuk menjaga kekondusifan, konten podcast tersebut di takedown.
Tanpa berniat untuk menyikapi kasus tersebut, dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Pamekasan mempertegas kembali istilah non-muslim dan kafir.
Penegasan tersebut diharapkan bisa membangun wawasan pemahaman umat Islam, khususnya Nahdliyin yang ada di wilayah Kabupaten Pamekasan, Madura Jawa Timur.
Sementara, Wakil Bendahara PCNU Pamekasan Ra Maltuful Anam menegaskan, persoalan tersebut sejatinya sudah klir dalam Bahtsul Masail Maudlu’iyah dalam Munas dan Konbes NU 2019 di Banjar Patroman, Jawa Barat.
Dijelaskan, mu’min dan kafir itu tetap ada di ranah privat teologis masing-masing agama. Bagi orang Islam, non-Muslim itu kafir, begitu juga sebaliknya.
” Akan tetapi, idiom ini tidak berlaku di ranah publik (mu’âmalah wathaniyah). Semua adalah warga negara yang berkedudukan sederajat,” tegas Ra Maltuf.
Hal ini sama seperti yang dilakukan Nabi, ketika mendirikan Negara Madinah. Kaum Muslim dan Yahudi dengan beragam suku dan agamanya, tambahnya mengutip penjelasan cendekiawan muslim M Kholid Syirazi, di dalam naskah Piagam Madinah, semua disebut sebagai Ummatun Wâhidah.
Masih kata Ra Maltuf, misalkan saja ketika ada pemerintah menyampaikan programnya yang berkaitan dengan istilah non-muslim dan kafir, harus dilihat dulu konteksnya.
Contohnya, Kemenag yang menyampaikan program Moderasi Agama, ya kita harus mendukungnya. Bukan mendukung personnya, tetapi kita mendukung program-program tersebut.
Karena ini tujuannya untuk negara. Jadi, tidak tendensius kepada satu agama atau personalia, terangnya.
“Kalau misalnya menyampaikan konteks non-muslim atau sebutan kafir di depan umum atau dalam konteks menyampaikan program, itu sudah tepat dalam rangka Moderasi Agama,” ulasnya.
“Namun manakala dalam konteks pengajaran agama, Islam khususnya, yang disampaikan kepada orang Islam dan mengutip ayat Alquran, ya kata kafir jangan diartikan sebagai non-muslim,” tegas Ketua Majelis Dzikir dan Shalawat (MDS) Rijalul Ansor Kabupaten Pamekasan.
Kembali merujuk pada teks kitab terkait status non-Muslim, yang tersedia adalah istilah
Kâfir Harby, Kâfir Dzimmy, Kâfir Mu’âhad, dan Kâfir Musta’min. Kâfir Harby merujuk ke orang kafir yang agresif karena itu harus diperangi.
Kâfir Dzimmy merujuk ke orang kafir yang tinggal di Negeri Islam yang tunduk dan dilindungi dengan membayar jizyah (pajak).
“Kâfir Mu’âhad merujuk ke orang kafir yang dilindungi karena mengikat perjanjian. Kâfir Musta’min merujuk ke orang kafir yang datang ke negeri Islam yang minta perlindungan dan dilindungi,” pungkas Ra Maltuf. ( hen )
Hal ini sama seperti yang dilakukan Nabi, ketika mendirikan Negara Madinah. Kaum Muslim dan Yahudi dengan beragam suku dan agamanya, tambahnya mengutip penjelasan cendekiawan muslim M Kholid Syirazi, di dalam naskah Piagam Madinah, semua disebut sebagai Ummatun Wâhidah.
Masih kata Ra Maltuf, misalkan saja ketika ada pemerintah menyampaikan programnya yang berkaitan dengan istilah non-muslim dan kafir, harus dilihat dulu konteksnya.
Contohnya, Kemenag yang menyampaikan program Moderasi Agama, ya kita harus mendukungnya. Bukan mendukung personnya, tetapi kita mendukung program-program tersebut.
Karena ini tujuannya untuk negara. Jadi, tidak tendensius kepada satu agama atau personalia, terangnya.
“Kalau misalnya menyampaikan konteks non-muslim atau sebutan kafir di depan umum atau dalam konteks menyampaikan program, itu sudah tepat dalam rangka Moderasi Agama,” ulasnya.
“Namun manakala dalam konteks pengajaran agama, Islam khususnya, yang disampaikan kepada orang Islam dan mengutip ayat Alquran, ya kata kafir jangan diartikan sebagai non-muslim,” tegas Ketua Majelis Dzikir dan Shalawat (MDS) Rijalul Ansor Kabupaten Pamekasan.
Kembali merujuk pada teks kitab terkait status non-Muslim, yang tersedia adalah istilah
Kâfir Harby, Kâfir Dzimmy, Kâfir Mu’âhad, dan Kâfir Musta’min. Kâfir Harby merujuk ke orang kafir yang agresif karena itu harus diperangi.
Kâfir Dzimmy merujuk ke orang kafir yang tinggal di Negeri Islam yang tunduk dan dilindungi dengan membayar jizyah (pajak).
“Kâfir Mu’âhad merujuk ke orang kafir yang dilindungi karena mengikat perjanjian. Kâfir Musta’min merujuk ke orang kafir yang datang ke negeri Islam yang minta perlindungan dan dilindungi,” pungkas Ra Maltuf. ( hen )
Editor/Publisher: Bairi.