Seputarindonesia.net || Tuban – Lebaran ketupat adalah salah satu tradisi yang dilaksanakan setelah hari raya Idul Fitri. Tradisi ini biasanya dilakukan sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia khususnya di Pulau Jawa tepatnya seminggu setelah Idul Fitri atau 1 Syawal. Tradisi lebaran ketupat ini di beberapa wilayah juga dikenal sebagai kegiatan Syawalan.
Pada masyarakat Jawa, perayaan tradisi lebaran ketupat ini dilambangkan sebagai simbol kebersamaan. Di Dusun Gempol Desa Margorejo Kecamatan Parengan Kabupaten Tuban, Jawa Timur misalnya, lebaran ketupat ini dikenal dengan sebutan kenduren kupat.
Salah satu ketua RT 17 Dusun Gempol Yanto mengatakan, tradisi ini menjadi agenda tahunan sepekan setelah hari raya Idul Fitri. Biasanya, ketupat yang sudah ditata dalam wadah langsung dibawa ke masjid dan musholla terdekat setelah selesai menunaikan sholat shubuh lalu di doakan oleh mbah yai suhadak (sebutan pemuka agama setempat).
Tidak hanya ketupat saja yang dibawa, namun juga ada lepet, sayur dan sambal cos. Selanjutnya, ketupat ditata sedemikian rupa dan didoakan bersama sama oleh warga sebagaimana filosofi dari ketupat itu sendiri yakni mengaku lepat atau mengaku salah kepada Allah swt.
“Tradisi ini juga menjadi salah satu cara silaturrahmi serta untuk ingat kepada Allah swt. Tradisi seperti ini nantinya diawali dengan saling memaafkan sesama warga kemudian ketupat itu saling ditukar satu dengan yang lain dan dimakan di musholla rame rame,” tutur yanto senin (9/5/2022).
Sejarah lebaran ketupat sendiri sangat erat kaitannya dengan salah satu Wali Songo, yakni Sunan Kalijaga. Masyarakat Jawa mempercayai Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan ketupat.
Tradisi kupatan muncul pada era Wali Songo dengan memanfaatkan tradisi slametan yang sudah berkembang di kalangan masyarakat Nusantara. Tradisi ini kemudian dijadikan sarana untuk mengenalkan ajaran Islam mengenai cara bersyukur kepada Allah swt, bersedekah, dan bersilaturrahim di hari lebaran.
Kata “ketupat” atau “kupat” berasal dari kata bahasa Jawa “ngaku lepat” yang berarti “mengakui kesalahan”. Sehingga dengan ketupat sesama Muslim diharapkan mengakui kesalahan dan saling memaafkan serta melupakan kesalahan dengan cara memakan ketupat tersebut.
Banyak makna filosofis yang dikandung dalam makanan ketupat ini. Bungkus yang dibuat dari janur kuning melambangkan penolak bala bagi orang Jawa sedangkan bentuk segi empat mencerminkan prinsip “kiblat papat lima pancer,” yang bermakna bahwa ke mana pun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Allah.
Sebagian masyarakat juga memaknai rumitnya anyaman bungkus ketupat mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia sedangkan warna putih ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah mohon ampun dari kesalahan. Beras sebagai isi ketupat diharapkan menjadi lambang kemakmuran setelah hari raya.
Ketupat juga dianggap sebagai penolak bala, yaitu dengan menggantungkan ketupat yang sudah matang di atas kusen pintu depan rumah, biasanya bersama pisang, dalam jangka waktu berhari-hari, bahkan berulan-bulan sampai kering.
Biasanya, ketupat disajikan bersama opor ayam dan sambel goreng. Ini pun ternyata ada makna filosofisnya. Opor ayam menggunakan santan sebagai salah satu bahannya. Santan, dalam bahasa Jawa disebut dengan santen yang mempunyai makna “pangapunten” alias memohon maaf.
Saking dekatnya kupat dengan santen ini, sampai ada pantun yang sering dipakai pada kata-kata ucapan Idul Fitri : Mangan kupat nganggo santen. Menawi lepat nyuwon ngapunten.(Irul).
Editor/Publisher: Bairi.