Seputarindonesia.net II SURABAYA –Perawat Shaylla Novita Sari, terdakwa penjualan obat bekas pasien COVID-19, tertunduk lesu saat mengikuti sidang dengan agenda putusan di Ruang Tirta 2, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Ketua Majelis Hakim, I Ketut Suarta memvonis Shaylla dengan hukuman pidana 1 tahun 4 bulan penjara. Putusan itu rupanya lebih ringan 2 bulan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Hari Basuki dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Selain Shaylla, ada terdakwa lain, yakni Muchamad Wahyudi, Roni Harly dan Eric Angga (masing-masing dalam berkas tersendiri).
“Terdakwa Shaylla Novita Sari terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dalam pasal 196 UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan,” kata Ketut saat membacakan amar putusannya di Ruang Tirta 2, PN Surabaya, Senin (23/5/2022).
Mendengar hal itu, JPU Hari Basuki menyatakan pikir-pikir dengan putusan itu. Mengingat, tuntutan yang disampaikannya adalah 1 tahun 6 bulan.
“Kami menunggu mereka (pihak terdakwa), kalau banding ya saya banding,” ujarnya, Senin (23/5/2022).
Seperti dijetahui, perkara jual beli obat bekas pasien COVID-19 di salah satu RS swasta di Surabaya jenis actemra oleh Shaylla Novita Sari dan suaminya, Muchamad Wahyudi itu mencuat ketika kasus pandemi sedang tinggi-tingginya.
Wanita yang bekerja sebagai perawat sejak 2010 itu mengaku, mulanya ia dimintai tolong melalui suaminya oleh terdakwa Eric. Sebab, saudaranya terjangkit COVID-19 dan kritis.
“Saat itu, ada pasien atas nama Tuan Tjahan, obat tersebut belum sempat digunakan dikarenakan pasien sudah meninggal dunia. Oleh keluarga pasien, barang-barang tidak ada yang diambil, termasuk obat actemra, lalu obat tersebut saya amankan,” kata Shaylla saat sidang.
Lantas, keduanya melakukan transaksi. Kemudian, Shaylla mengaku mendapat uang Rp 40 juta. Selanjutnya, dipergunakan untuk beli perhiasan berupa cincin, sepeda motor, dan keperluan sehari-hari.
“Setelah 1 bulan, saya dipanggil oleh pimpinan RS dan seharusnya obat actemra tidak dijual bebas dan harus ada resep dokter. Terkait permasalahan ini, saya merasa bersalah dan menyesal,” ujarnya.
Atas perbuatannya itu, para terdakwa dijerat dengan Pasal 196 UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Eko/Ri).
Editor/Publisher: Bairi.